Diterjemahkan dari AlQur'an
surah An Najm ayat 1 s.d 18
-
Demi bintang ketika terbenam,
-
Kawanmu, (Muhammad), tidak sesat dan tidak keliru,
-
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
-
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),
-
yang diajarkan kepadanya oleh yang sangat kuat (yaitu Jibril),
-
Yang mempunyai akal yang cerdas; dan dia menampakkan diri dengan rupa yang asli.
-
Sedang dia berada di ufuk yang tinggi.
-
Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi,
-
Maka jadilah dia dekat laksana dua busur panah atau lebih dekat.
-
Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah diwahyukan.
-
Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.
-
Maka apakah kamu hendak membantah tentang apa yang telah dilihatnya ?
-
Dan sesungguhnya ia telah melihatnya itu pada waktu yang lain,
-
Di Sidratil Muntaha.
-
Di dekatnya ada Jannah tempat tinggal,
-
ketika Sidrah diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
-
Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak melampauinya.
-
Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda Tuhannya yang paling hebat.
Nabi Allah yang
terakhir, yaitu Rasul Allah Muhammad Saw telah mengadakan perjalanan malam dari
masjidil Haraam kemasjidil Aqsha dan telah menyaksikan sebagian tanda-tanda
kebesaran Tuhan yang hebat dan dahsyat dengan ditemani oleh Malaikat Jibril yang
akan dilihatnya dalam wujud aslinya pada saat di Muntaha sebagaimana yang pernah
dijumpai Rasulullah pertama kalinya digua Hira ketika mendapatkan wahyu yang
pertama.
Peristiwa itu,
bagi Nabi sendiri merupakan pengalaman yang paling tinggi dan sempurna dalam
kehidupan kerohaniannya. Kepergiannya keatas orbit bumi sampai terus menjulang
tinggi melangkahi berjuta bahkan bermilyar bintang dan benda-benda angkasa
lainnya untuk pada akhirnya sampai dihadapan 'Arsy Ilahi menyaksikan kebesaran
Allah baik dengan mata kepala, mata batin atau mata hatinya sehingga sangat
sulit dilukiskan.
Kaum alim
ulama banyak berbeda pendapat mengenai masalah kejadian yang dialami oleh Nabi
yang agung ini, bahwa apakah peristiwa itu terjadi secara rohani ataukah secara
jasmani alias dengan badan kasar ?
Sejak jaman
permulaan, masalah ini senantiasa menjadi masalah ikhtilafiah, masalah yang
membangkitkan beda pendapat antara alim ulama dan mufassirin. Dan ini adalah hal
yang sangat wajar sekali, bukankah tingkat pemahaman setiap orang dapat
berbeda-beda sesuai dengan cara berpikir dan pengetahuan masing-masing serta
perkembangan peradaban tekhnologi pada masanya ?
Ada sementara
orang yang menganggap bahwa peristiwa perjalanan Nabi ini terjadi dalam mimpi,
padahal mimpi itu tidak perlu dibantah. Toh itu cuma mimpi. Misalnya seperti
saya yang berada di Palembang, lalu saya mengatakan bahwa tadi malam saya
bermimpi pergi ke London, maka tidak akan ada seorangpun yang bisa membantah
saya, karena hal itu hanyalah mimpi.
Orang yang
berpendapat bahwa peristiwa itu terjadi dalam mimpi mencoba mengemukakan dalil
AlQur'an :
"Dan tidak
Kami jadikan penglihatan (Ar ru'yaa) yang Kami perlihatkan kepadamu, melainkan
sebagai ujian bagi manusia." (QS. 17:60)
Menurut
mereka, lafal Ru'ya (dalam bahasa Arabnya memakai huruf "ya" saja) adalah
berarti penglihatan dalam mimpi, bukan penglihatan dalam sadar.
Sebab penglihatan dalam keadaan sadar mempergunakan bentuk masdar
Ru'ya(h) (dalam bahasa Arabnya memakai huruf "ta" setelah huruf "ya")
Terhadap
alasan ini, kita kemukakan jawaban bahwa apabila Penglihatan yang
dimaksud dalam ayat ini adalah Mimpi, maka bagaimanakah hal ini bisa
menjadi Ujian bagi manusia sebagaimana yang firman Allah yang ada pada
lanjutan ayat 17:60 diatas ?
Sedangkan
makna Ujian bagi manusia ini ialah adanya sebagian mereka yang
membenarkan dan adapula yang mendustakan. Kalau toh hal itu berupa penglihatan
dalam mimpi, maka orang tidak perlu lagi memperbincangkan untuk membenarkan atau
mendustakannya.
Adakah anda
pernah menjumpai orang yang membantah terhadap mimpi seseorang karena didalam
mimpinya itu ia melihat atau melakukan perbuatan begini dan begitu ? Tidak,
tidak mungkin ada orang yang akan membantah mimpi itu (yang nota bene
orang-orang kafir pada saat Rasul menceritakan peristiwa itu tidak akan
membantahnya - seandainya peristiwa itu terjadi dalam mimpi).
Sekarang mari
kita bicarakan arti kata "Ru'yaa dari segi bahasa menurut undang-undang
kebahasaan Arab yang berlaku.
Coba lihat
kembali ucapan-ucapan jahiliah sebelum diturunkannya Al Qur-an, juga pada saat
Nabi Ibrahim memandang takjub atas bintang-bintang, bulan, matahari dilangit
ketika dalam pencarian jati diri Tuhannya, maka akan kita dapati bahwa kata-kata
"Ru'yaa" juga dipergunakan dalam arti "melihat dalam keadaan sadar" (melihat
dengan mata kepala).
Jadi perkataan
"Ru'yaa" dengan arti "melihat dalam keadaan sadar" dipakai untuk
perkara-perkara yang aneh-aneh dan menakjubkan yang biasanya terjadi dalam
mimpi.
Apabila kita
hendak menyatakan bahwa kita melihat sesuatu yang biasa maka kita katakan
:
Ro aitu Ru'yah tetapi jika kita mengatakan sesuatu hal yang dapat dilihat dengan mata kepala (Dalam keadaan sadar) dan kita mempergunakan kata-kata "ra-aa" dengan bentuk masdar "rukyaa", maka berarti apa yang kita katakan itu adalah hal yang luar biasa yang umumnya hanya terjadi dalam mimpi, namun itu tidak berarti kita sedang dalam mimpi.
Ro aitu Ru'yah tetapi jika kita mengatakan sesuatu hal yang dapat dilihat dengan mata kepala (Dalam keadaan sadar) dan kita mempergunakan kata-kata "ra-aa" dengan bentuk masdar "rukyaa", maka berarti apa yang kita katakan itu adalah hal yang luar biasa yang umumnya hanya terjadi dalam mimpi, namun itu tidak berarti kita sedang dalam mimpi.
Sekarang kita
lanjutkan dengan membicarakan kata-kata "Ja'ala", bagaimanakah
penggunaannya menurut tata bahasa ?
Saya
berpendapat bahwa kata-kata "Ja'ala" ini apabila digunakan untuk sesuatu
yang belum ada kemudian menjadi ada, maka kata-kata "Ja'ala" tersebut sama
artinya dengan "Khalaqa".
Perhatikan Firman Allah :
Perhatikan Firman Allah :
"Waja'ala
minha zau jaha"
Artinya :"Dan Kami jadikan daripadanya pasangannya."
Artinya :"Dan Kami jadikan daripadanya pasangannya."
Maksudnya
adalah : Kami ciptakan istri Adam itu dari padanya yang mana pada waktu itu si
Istri tersebut belum ada lantas kemudian menjadi ada. Tetapi apabila kata-kata
"Ja'ala" ini digunakan untuk sesuatu yang sudah ada, maka artinya ialah
"Merubah". Dari kata-kata "Ja'ala" dengan arti yang kedua ini maka akan timbul
dua hal, yaitu adanya "Maj'ul" (sesuatu yang dijadikan/yang dibuat) dan "Maj'ul
minhu" (sesuatu yang dijadikan daripadanya akan sesuatu yang lain).
Misalnya kita
katakan : Ja'altussinaibrita Artinya :Saya membuat tanah liat menjadi
kendi.
Maka tanah liat ini sebagai bahan (Maj'ul minhu) dan kendinya sebagai Maj'ul.
Maka tanah liat ini sebagai bahan (Maj'ul minhu) dan kendinya sebagai Maj'ul.
Begitu juga
dengan firman Allah terhadap Nabi Ibrahim :Inni Ja'iluka linnasi imama,
Artinya: "Aku akan menjadikan engkau sebagai imam bagi manusia." (QS. 2:124), maka hal itu
berarti bahwa Nabi Ibrahim sudah ada, sedangkan "Keimaman" adalah perkara yang
lain lagi.
Lalu kembali
lagi pada arti ayat 17:60 :"Dan tidak Kami jadikan penglihatan yang Kami
perlihatkan kepadamu itu melainkan..."
Dijadikan
apakah penglihatan yang diperlihatkan kepada Nabi Muhammad Saw itu ?
Jawabnya : Dijadikan ujian bagi manusia dimana timbul reaksi-reaksi dari mereka, yaitu ada yang membenarkan dan ada yang mendustakan. Atau, kalau kata-kata "Ru'yaa" disini diartikan dengan mimpi, maka mimpi ini dapat dijadikan Ujian bagi orang lain ? Karena mimpi tersebut kemudian menjadi kenyataan, dan dari kenyataan (peristiwa nyata) inilah lantas timbul Ujian.
Jawabnya : Dijadikan ujian bagi manusia dimana timbul reaksi-reaksi dari mereka, yaitu ada yang membenarkan dan ada yang mendustakan. Atau, kalau kata-kata "Ru'yaa" disini diartikan dengan mimpi, maka mimpi ini dapat dijadikan Ujian bagi orang lain ? Karena mimpi tersebut kemudian menjadi kenyataan, dan dari kenyataan (peristiwa nyata) inilah lantas timbul Ujian.
Sehingga
dengan demikian maka dapat diambil pengertian bahwa peristiwa Mi'raj itu
mula-mula dialami Rasulullah Saw dalam mimpi, kemudian dalam alam kenyataan
sebagaimana hal ini dialami Rasulullah Saw pada peristiwa yang lain seperti yang
difirmankan oleh Allah :
"Sesungguhnya
Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan
sebenarnya (yaitu) bahwa sesunguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil
Haram.."(QS.
48:27)
Dimana
peristiwa memasuki Masjidil Haram ini mula-mula berupa impian, kemudian menjadi
kenyataan. Dan tidak ada yang menghalangi Allah untuk memperlihatkan kepada ruh
Muhammad Saw mengenai peristiwa Mi'raj ini dalam mimpi yang akhirnya menjadi
kenyataan. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah mengalami
Mi'raj dalam mimpi dan oleh ruhnya, lalu dialaminya dalam alam kenyataan.
A'isyah r.a.
pernah mengatakan :
"Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak bermimpi sesuatupun melainkan mimpinya itu akan menjadi kenyataan seperti terbitnya fajar."
Sekarang, mari
kita tinjau kembali secara teliti, Surah 53 yang dimulai dari ayat 1 s.d ke-18
yang telah saya cantumkan pada bagian permulaan dari artikel ini, dan perhatikan
ayat-ayat yang telah saya tebalkan dan miringkan hurufnya dan akan saya kutip
kembali beberapa ayat yang berhubungan erat dengan pembahasan utama kita :
11. Hatinya
tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.
12. Maka apakah kamu hendak membantah tentang apa yang telah dilihatnya ?
12. Maka apakah kamu hendak membantah tentang apa yang telah dilihatnya ?
Ayat 1 s.d 12
itu menceritakan saat pertama kali pertemuan Nabi Muhammad Saw dengan malaikat
Jibril, dimana Muhammad waktu itu sedang melakukan pengasingan diri lengkap
dengan jasad fisiknya (lahir-batin) didalam gua Hira pada saat menerima wahyu
pertama.
Dan
penglihatan terhadap Jibril ini dilakukan dengan mata kepala Rasulullah sendiri,
lahir batinnya beliau melihat, serta "hati Rasul tidak pula mendustakan
penglihatan matanya"
Lalu pada ayat
berikutnya (12), kita semua ditanya oleh Allah Maka apakah kamu hendak
membantah tentang apa yang telah dilihatnya ?
Jauh-jauh hari
ternyata Allah sudah mempertanyakan keraguan yang ada didalam diri kita atas apa
yang telah pernah dilihat oleh Rasulullah Muhammad Saw, sehingga semakin
menjelaskan bahwa kejadian di Gua Hira itu adalah nyata dan kongkrit dan tidak
bisa terbantahkan.
Nah,
selanjutnya kejadian digua Hira ini berulang kembali pada saat di Sidratul
Muntaha yang termaktub pada Surah yang sama pada ayat selanjutnya, 13-18
13. Dan
sesungguhnya ia telah melihatnya itu pada waktu yang lain,
14. Di Sidratil Muntaha.
14. Di Sidratil Muntaha.
17.
Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak
melampauinya.
18. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda Tuhannya yang paling hebat.
18. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda Tuhannya yang paling hebat.
Rasanya sudah
transparan sekali Allah menjelaskan ayat-ayat tersebut kepada kita untuk dapat
dimengerti serta dipahami bahwa semuanya berlangsung dengan logis dan real.
Tetapi memang, sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, masing-masing orang dapat berbeda didalam menafsirkan setiap ayat didalam AlQur'an, mengingat memang kandungan yang ada pada AlQur'an begitu luas, indah dan mempesona selain juga begitu ilmiah.
Keilmiahan
inilah yang rupa-rupanya masih agak sulit ditangkap oleh para alim ulama dahulu
kala, karena memang perkembangan peradaban tekhnologi pada masa itu belumlah
lagi secanggih sekarang ini, sehingga pernyataan manusia bisa terbang
kebulan saja masih banyak yang takjub dan terheran-heran serta tidak
percaya.
Memang bisa
dimaklumi, penerbangan keangkasa luar dengan menggunakan pesawat terbang sendiri
sebagai pelajaran struktur jagad raya baru dicapai sekitar abad 18 Masehi.
Sebelum itu cerita manusia terbang tanpa pesawat hanya dijumpai dalam cerita
wayang atau cerita mengenai Nabi Sulaiman dengan karpet terbangnya atau juga
mengenai cerita di Romawi dengan kuda sembraninya.
Hal ini juga
kiranya yang menyebabkan orang dahulu cenderung mencocokkan beberapa arti ayat
AlQur-an sedemikian rupa, sehingga bagi mereka yang selalu berkutat dengan
bidang ilmiah yang membacanya menjadi berkesan rancu, lucu dan irrasional.
Padahal kita semua tahu dan sadar, AlQur-an sangat jauh dari sifat-sifat
tersebut.
Ayat-ayat semacam inilah yang dimaksudkan oleh Allah dengan
ayat-ayat yang Mutasyabihat seperti yang saya singgung dalam Kata Pengantar
Studi Kritis dalam Memahami Al Qur-an
Kita akan melanjutkan pembahasan mengenai Mi'raj Rasul Allah Muhammad Saw ini dengan beberapa tinjauan-tinjauan ilmiah, pada bagian kedua.
Kita akan melanjutkan pembahasan mengenai Mi'raj Rasul Allah Muhammad Saw ini dengan beberapa tinjauan-tinjauan ilmiah, pada bagian kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar