Dr. M. Quraish Shihab,
M.A.
Al-Quran yang secara harfiah
berarti "bacaan sempurna "merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat,
karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulisbaca lima ribu tahun
yang lalu yang dapat menandingi Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia
itu.
Tiada bacaan
semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya
dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf
oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
Tiada bacaan
melebihi Al-Quran dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya
secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat
turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.
Tiada bacaan
seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan
kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai
kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku,
generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah
kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan
mereka, namun semua mengandung kebenaran.
Al-Quran layaknya
sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut
pandang masing-masing.
Tiada bacaan
seperti Al-Quran yang diatur tata cara membacanya, mana yang dipendekkan,
dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang
terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan
iramanya, sampai kepada etika membacanya.
Tiada bacaan
sebanyak kosakata Al-Quran yang berjumlah 77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat
ratus tiga puluh sembilan) kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua
puluh tiga ribu lima belas) huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara
kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan
dampaknya.
Sebagai contoh
-sekali lagi sebagai contoh- kata hayat terulang sebanyak antonimnya maut,
masing-masing 145 kali; akhirat terulang 115 kali sebanyak kata dunia; malaikat
terulang 88 kali sebanyak kata setan; thuma'ninah (ketenangan) terulang 13 kali
sebanyak kata dhijg (kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata
dingin.
Kata infaq
terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya yaitu ridha (kepuasan)
masing-masing 73 kali; kikir sama dengan akibatnya yaitu penyesalan
masing-masing 12 kali; zakat sama dengan berkat yakni kebajikan melimpah,
masing-masing 32 kali. Masih amat banyak keseimbangan lainnya, seperti kata yaum
(hari) terulang sebanyak 365, sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr
(bulan) terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan dalam
setahun.
"Allah menurunkan
kitab Al-Quran dengan penuh kebenaran dan keseimbangan (QS Al-Syura [42]:
17)."
Adakah suatu
bacaan ciptaan makhluk seperti itu? Al-Quran menantang:
"Katakanlah,
Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Quran ini, mereka
tidak akan berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja sama" (QS
Al-Isra,[17]: 88).
Orientalis H.A.R.
Gibb pernah menulis bahwa: "Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun
ini telah memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan
demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad
(Al-Quran)." Demikian terpadu dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan
keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta
kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.
"Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan
pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq
[96]: 1-5).
Mengapa iqra,
merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau seorang
ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian?
Iqra' terambil
dari akar kata yang berarti "menghimpun," sehingga tidak selalu harus diartikan
"membaca teks tertulis dengan aksara tertentu."
Dari "menghimpun" lahir aneka ragam
makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri
sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun
tidak.
Iqra' (Bacalah)!
Tetapi apa yang harus dibaca? "Ma aqra'?" tanya Nabi -dalam suatu riwayat-
setelah beliau kepayahan dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril
a.s.
Pertanyaan itu
tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa
saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk
kemanusiaan.
Iqra' berarti bacalah, telitilah,
dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda
zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis.
Alhasil objek perintah iqra' mencakup
segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Demikian terpadu
dalam perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia untuk
meningkatkan kemampuannya.
Pengulangan
perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekadar menunjukkan bahwa
kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca
hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi juga untuk
mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah)
akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu
juga.
Mengulang-ulang
membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, dan
menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin. Berulang-ulang "membaca" alam
raya, membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan serta menambah
kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang kita baca dewasa ini tak sedikit pun
berbeda dengan ayat Al-Quran yang dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya
pun demikian, namun pemahaman, penemuan rahasianya, serta limpahan
kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan itulah pesan yang dikandung dalam Iqra'
wa Rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah). Atas
kemurahan-Nyalah kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.
Sungguh, perintah
membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat diberikan
kepada umat manusia. "Membaca" dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dan
utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama membangun peradaban.
Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab
(bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9
sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya Kitab Perjanjian Baru. Peradaban
Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel
(1770-1831).
Peradaban Islam
lahir dengan kehadiran Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena
kita yakin bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan,
selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya
"Sesungguhnya
Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami
(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]:
9).
Pengetahuan dan
peradaban yang dirancang oleh Al-Quran adalah pengetahuan terpadu yang
melibatkan akal dan kalbu dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran menjelaskan
dua cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.
Setiap
pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek dituntut berperan guna
memahami objek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang
memperkenalkan dirinya kepada subjek tanpa usaha sang subjek.
Komet Halley,
memasuki cakrawala, hanya sejenak setiap 76 tahun. Dalam kasus ini, walaupun
para astronom menyiapkan diri dan alat-alatnya untuk mengamati dan mengenalnya,
tetapi sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu sendiri untuk
memperkenalkan diri.
Wahyu, ilham,
intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya atau apa
yang diduga sebagai "kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, kesemuanya
tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat dianalogikan dengan
kasus komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan wahyu pertama
ini.
"Allah mengajar
dengan pena (apa yang telah diketahui manusia sebelumnya), dan mengajar manusia
(tanpa pena) apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)
Sekali lagi
terlihat betapa Al-Quran sejak dini memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal
dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia
seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa
ilmu sama dengan pelita di tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan
pelita di tangan pencuri.
Al-Quran sebagai
kitab terpadu, menghadapi, dan memperlakukan peserta didiknya dengan
memperhatikan keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan
jasmaninya.
Ketika Musa a.s.
menerima wahyu Ilahi, yang menjadikan beliau tenggelam dalam situasi spiritual,
Allah menyentaknya dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material
:
"Apakah itu yang di tangan kananmu,
hai Musa?" (QS Thaha [20]: 17).
Musa sadar sambil
menjawab,
"Ini adalah
tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul (daun) dengannya untuk kambingku,
disamping keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).
Di sisi lain,
agar peserta didiknya tidak larut dalam alam material, Al-Quran menggunakan
benda-benda alam, sebagai tali penghubung untuk mengingatkan manusia akan
kehadiran Allah Swt. dan bahwa segala sesuatu yang teriadi –sekecil apa pun-
adalah di bawah kekuasaan, pengetahuan, dan pengaturan Tuhan Yang
Mahakuasa.
"Tidak sehelai
daun pun yang gugur kecuali Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun
dalam kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau kering kecuali tertulis
dalam Kitab yang nyata (dalam jangkauan pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]:
59).
"Bukan kamu yang
melempar ketika kau melempar, tetapi Allah-lah (yang menganugerahkan kemampuan
sehingga) kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).
Sungguh,
ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk tenunan kehidupan Muslim,
serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena itu seringkali pada saat
Al-Quran berbicara tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek
tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek atau dimensi lain
yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi bagi orang yang
tekun mempelajarinya akan menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan,
sama dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan bisikan-bisikan hati
manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau aspek yang tadinya terkesan kacau,
menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui
di mana ujung pangkalnya.
Salah satu tujuan
Al-Quran memilih sistematika demikian, adalah untuk mengingatkan manusia
-khususnya kaum Muslimin- bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah satu kesatuan
terpadu yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Keharaman makanan
tertentu seperti babi, ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan pengetahuan,
anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban
puasa, hubungan suami-istri, dikemukakan Al-Quran secara berurut dalam belasan
ayat surat Al-Baqarah. Mengapa demikian? Mengapa terkesan acak? Jawabannya
antara lain adalah, "Al-Quran menghendaki agar umatnya melaksanakan ajarannya
secara terpadu." Tidakkah babi lebih dianjurkan untuk dihindari daripada
keengganan menyebarluaskan ilmu Bersedekah tidak pula lebih penting daripada
menegakkan hukum dan keadilan. Wasiat sebelum mati dan menunaikannya tidak kalah
dari berpuasa di bulan Ramadhan. Puasa dan ibadah lainnya tidak boleh menjadikan
seseorang lupa pada kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu adalah hubungan seks
antara suami-istri. Demikian terlihat keterpaduan
ajaran-ajarannya.
Al-Quran menempuh
berbagai cara guna mengantar manusia kepada kesempurnaan kemanusiaannya antara
lain dengan mengemukakan kisah faktual atau simbolik. Kitab Suci Al-Quran tidak
segan mengisahkan "kelemahan manusiawi," namun itu digambarkannya dengan kalimat
indah lagi sopan tanpa mengundang tepuk tangan, atau membangkitkan potensi
negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan itu, atau
menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi godaan nafsu dan
setan.
Ketika Qarun yang
kaya raya memamerkan kekayaannya dan merasa bahwa kekayaannya itu adalah hasil
pengetahuan dan jerih payahnya, dan setelah enggan berkali-kali mendengar
nasihat, terjadilah bencana longsor sehingga seperti bunyi firman
Allah:
"Maka Kami
benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi" (QS Al-Qashash [28]: 81).
Dan berkatalah
orang-orang yang kemarin mendambakan kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah Allah
melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan
mempersempitkannya. Kalau Allah tidak melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya
kita pun dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-orang yang kikir
(QS Al-Qashash [28]: 82).
Dalam konteks
menggambarkan kelemahan manusia, Al-Quran, bahkan mengemukakan situasi, langkah
konkret dan kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang dimabuk cinta
oleh kegagahan seorang pemuda yang tinggal di rumahnya,
Maksudnya,
"(Setelah
berulang-ulang kali merayu dengan berbagai cara terselubung). Ditutupnya semua
pintu dengan amat rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya kepada
kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari lakukan itu!" (QS Yusuf [12]:
23).
Demikian, tetapi
itu sama sekali berbeda dengan ulah sementara seniman, yang memancing nafsu dan
merangsang berahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan dalam diri
manusia yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi tidak juga dibuka lebar, selebar
apa yang sering dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.
Al-Quran kemudian
menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf, anak muda yang dirayu wanita itu, juga
dengan tiga alasan penolakan, seimbang dengan tiga cara rayuannya, Yang pertama
dan kedua adalah,
"Aku berlindung
kepada Allah, sesungguhnya suamimu adalah tuanku, yang memperlakukan aku dengan
baik" (QS Yusuf [12]: 23).
Yang ketiga,
khawatir kedua alasan itu belum cukup.
"Dan sesungguhnya
tidak pernah dapat berbahagia orang yang berlaku aniaya" (QS Yusuf [12]: 23).
Dalam bidang
pendidikan, Al-Quran menuntut bersatunya kata dengan sikap. Karena itu,
keteladanan para pendidik dan tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya.
Pada saat
Al-Quran mewajibkan anak menghormati orangtuanya, pada saat itu pula ia
mewajibkan orang-tua mendidik anak-anaknya. Pada saat masyarakat diwajibkan
menaati Rasul dan para pemimpin, pada saat yang sama Rasul dan para pemimpin
diperintahkan menunaikan amanah, menyayangi yang dipimpin sambil bermusyawarah
dengan mereka.
Demikian Al-Quran
menuntut keterpaduan orang-tua, masyarakat, dan pemerintah. Tidak mungkin
keberhasilan dapat tercapai tanpa keterpaduan itu. Tidak mungkin kita berhasil
kalau beban pendidikan hanya dipikul oleh satu pihak, atau hanya ditangani oleh
guru dan dosen tertentu, tanpa melibatkan seluruh unsur
kependidikan.
Dua puluh dua
tahun dua bulan dan dua puluh dua hari lamanya, ayat-ayat Al-Quran silih
berganti turun, dan selama itu pula Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya tekun
mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada akhirnya, mereka
berhasil membangun masyarakat yang didalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan
hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan Ilahi.
Kita dapat
bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan berhasil? Boleh jadi
jawabannya dapat kita simak dari hasil penelitian seorang guru besar Harvard
University, yang dilakukannya pada 40 negara, untuk mengetahui faktor kemajuan
atau kemunduran negara-negara itu.
Salah satu faktor
utamanya -menurut sang Guru Besar- adalah materi bacaan dan sajian yang
disuguhkan khususnya kepada generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun
menjelang kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu, para
generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan tertentu. Setelah dua puluh
tahun generasi muda itu berperan dalam berbagai aktivitas, peranan yang pada
hakikatnya diarahkan oleh kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan itu.
Demikian dampak bacaan, terlihat setelah berlalu dua puluh tahun, sama dengan
lama turunnya Al-Quran.
Kalau demikian,
jangan menunggu dampak bacaan terhadap anak-anak kita kecuali 20 tahun kemudian.
Siapa pun boleh optimis atau pesimis, tergantung dari penilaian tentang bacaan
dan sajian itu. Namun kalau melihat kegairahan anak-anak dan remaja membaca
Al-Quran, serta kegairahan umat mempelajari kandungannya, maka kita wajar
optimis, karena kita sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi
terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang jaya selama sekitar delapan ratus
tahun, adalah karena Al-Quran yang mereka baca dan hayati mendorong pengembangan
ilmu dan teknologi, serta kecerahan pikiran dan kesucian hati.
Kita wajar
optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani pendidikan, serta tekadnya
mencanangkan wajib belajar.
Ayat "wa
tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan saja mencanangkan "wajib
belajar" tetapi juga "wajib mengajar." Bukankah tawashauw berarti saling
berpesan, saling mengajar, sedang al-haq atau kebenaran adalah hasil pencarian
ilmu? Mencari kebaikan menghasilkan akhlak, mencari keindahan menghasilkan seni,
dan mencari kebenaran menghasilkan ilmu. Ketiga unsur itulah yang menghasilkan
sekaligus mewarnai suatu peradaban.
Al-Quran yang
sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan antara lain:
-
Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.
-
Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang seharusnya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
-
Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan dan determinisme, kesatuan sosial, politik dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu keesaan, yaitu Keesaan Allah Swt.
-
Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
-
Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas manusia, dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.
-
Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia
-
Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran.
-
Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.
Demikian sebagian
tujuan kehadiran Al-Quran, tujuan yang tepadu dan menyeluruh, bukan sekadar
mewajibkan pendekatan religius yang bersifat ritual atau mistik, yang dapat
menimbulkan formalitas dan kegersangan.
Al-Quran adalah
petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan nilai-nilai yang
dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem hidup. Apabila
dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah
kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketenteraman hidup
pribadi dan masyarakat.
Itulah Al-Quran dengan gaya bahasanya
yang merangsang akal dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima dan
memberi kasih dan keharuan cinta, sehingga dapat mengarahkan kita untuk memberi
sebagian dari apa yang kita miliki untuk kepentingan dan kemaslahatan umat
manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan kekayaan spiritual
bangsa kita, dan yang telah tumbuh subur dalam negara kita. []
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan
Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022)
707038
Tidak ada komentar:
Posting Komentar